[REVIEW FILM] Yuni (2021)
Yuni adalah seorang siswi SMA yang kepribadiannya
digambarkan sebagai gadis yang ceria dan aktif di berbagai kegiatan sekolah.
Yuni juga seorang siswi yang cerdas. hingga gurunya mendorongnya untuk mengejar
beasiswa untuk dapat melanjutkan kuliah. Seperti gadis lain seusianya, Yuni
memiliki beberapa teman dekat yang akrab dan sering nongkrong bareng.
Yuni tinggal berdua bersama neneknya di sebuah desa di Jawa Barat, sedang Ayah dan Ibunya
merantau kerja di Jakarta. Meski hidupnya sederhana, keluarga Yuni termasuk
yang berpikiran terbuka. Ayahnya berharap Yuni mau melanjutkan kuliah, sedang
ibunya memberi kebebasan kepada Yuni.
Yuni digambarkan sebagai gadis yang jiwanya bebas. Yuni
tidak memiliki kesulitan keuangan, jadi dia bisa bebas menjadi dirinya sendiri. Yuni sangat menyukai warna ungu, yang membuatnya
seringkali tergoda untuk mengambil barang berwarna ungu milik orang lain. Kebiasaan
ini merupakan rahasia umum, dan bahkan Yuni tidak terlihat malu dengan
kebiasaan buruknya ini. Menarik juga melihat cara guru Yuni, Ibu Lies yang menanggapi
ini dengan menyebutnya “penyakit ungu.”
Konflik dimulai ketika Yuni dilamar oleh kerabat dari
tetangganya, yang bahkan Yuni tidak pernah mengenalnya sama sekali. Pertemuan
satu-satunya hanya ketika Yuni datang ke rumah tetangganya itu untuk mengantarkan
sepiring kue buatan neneknya. Katanya yang melamar adalah seorang mandor di
pabrik. Dengan berani Yuni mendatangi si mandor ini di tempat kerjanya, untuk
bertanya kenapa melamarnya. Jawaban yang tersirat adalah, “Kenapa tidak? Aku
ini seorang mandor, kamu beruntung aku yang melamar.” Yuni menolak lamaran itu.
Setelahnya, datang lagi lamaran kedua dari kerabat teman
sekolahnya. Seorang pria paruh baya yang datang melamar bersama istri sahnya.
Pria ini membawa upeti berupa segepok uang yang diserahkan kepada nenek Yuni.
Pesannya, jika setelah menikah Yuni terbukti benar masih perawan, uangnya akan
ditambah lagi.
(Mendengar ini aku misuh dalam hati sih. KZl BET)
Yuni sudah mendengar tentang mitos tidak boleh menolak
lamaran dua kali. Tapi Yuni juga tahu, ia tidak menginginkan pernikahan.
Hatinya yang ingin berontak membuatnya berani mengajak Yoga, adik kelas yang
menaksir Yuni, untuk melepas keperawanannya. Berbekal itu, ia mendatangi pria paruh
baya itu, dan mengembalikan uangnya. Ia tidak bisa menikah karena sudah tidak
perawan lagi.
Klimaksnya, lamaran ketiga datang dari guru favoritnya di sekolah, Pak Damar. Pak Damar melamarnya karena Yuni memergokinya berpakaian perempuan. Yuni diminta untuk menutupi malunya, dan membela dirinya dengan sebuah pernikahan. Sementara itu, Yoga mengajak Yuni pergi dari kampungnya untuk membebaskan dirinya. Yuni mengalami dilema, lalu siapa yang akhirnya dipilih Yuni?
***
Film ini membagi kisah nyata yang masih sering terjadi, bahkan
di era digital saat ini. Kisah-kisah tentang gadis seperti Yuni dan
teman-temannya yang tidak bebas menentukan nasibnya sendiri.
Film ini mengambil
sudut sebuah kecamatan di daerah pesisir di Jawa Barat. Meski saat menontonnya
aku bisa menebak logatnya yang khas Sunda, tapi beberapa kosa kata yang digunakan kok lebih mirip ke bahasa Jawa. Sunda sebelah mana terus menghantui hingga
film selesai kutonton. Dari pembahasan di dunia maya, ternyata bahasa yang
dipakai adalah Bahasa Sunda Banten. Pantesan....
Di daerah seperti tempat tinggal Yuni, seorang gadis yang
akan lulus SMA dianggap wajar jika langsung menikah jika sudah ada yang
melamar. Karena lamaran itu sebuah rejeki, tidak boleh ditolak, Gaes.
Masih banyak suara sumbang yang mencibir keinginan Yuni
untuk kuliah. Buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh nantinya kembali bekerja di
rumah, mengurus suami dan anak.
Salah seorang teman Yuni menikah dan hamil di usia muda.
Ketika ditanya soal orgasme, si teman ini juga tidak mengetahui orgasme itu
seperti apa rasanya. Yang ia tahu, berhubungan seks itu sakit dan tidak enak.
Ada Suci, teman Yuni pemilik sebuah salon di pasar. Suci
menjanda di usia muda karena tidak bisa memberikan anak kepada suaminya. Ia
hamil berulangkali namun selalu keguguran karena rahim yang terlalu muda.
Setelah berpisah dengan suaminya, ia malah diusir keluarganya yang malu karena menjanda
di usia muda.
Ada juga Teh Nisa, sahabat Suci, yang sudah berubah menjadi
kelaki-lakian. Karena perubahan inilah ia juga dibuang oleh keluarganya, meski
tinggalnya tidak berjauhan.
Bahkan kepala sekolah menegur Ibu Lies, guru yang mendorong
Yuni untuk mengejar beasiswa. Sikap Ibu Lies dianggap memberikan harapan yang
berlebihan kepada siswa perempuan, khususnya Yuni. Hmm, sepertinya menurut si Bapak, harapan yang
baik adalah menikah setelah lulus sekolah, ya Pak?
Inilah realitanya. Anak-anak perempuan sering dihadapkan
pada pilihan-pilihan orang lain, bukan keinginan mereka sendiri. Lalu ketika
mereka dianggap melakukan kesalahan, keluarga tidak berperan seperti layaknya
keluarga, yaitu tempat untuk pulang. Justru keluargalah yang paling menghakimi
anak-anak ini.
Yuni sebenarnya memiliki privilese karena orang tua dan
neneknya memberi kebebasan untuk memutuskan. Meski sebenarnya ini adalah sebuah
bumerang juga sih, karena bagaimanapun Yuni masih seorang anak. Dia tahu bahwa pernikahan bukan
yang diinginkannya, tapi bagaimana caranya untuk membebaskan diri, tidak ada
yang mengarahkan dan membelanya. Sedih ya…
Biar nggak penasaran simak dulu deh trailer berikut ini Trailer film Yuni
Hemm... Film yg sempat viral kemarin berita salah satu pemainnya ya. Well, ttg jalan cerita, ini ttg women issue ya. Kalau di kampung saya sih Alhamdulillah udah berpikir maju. Perempuan yg kuliah dan berkarir di kantor, sekolah, puskesmas, ini udah hal yg biasa. Malah umumnya pada jadi guru sekolah. Tapi memang di beberapa daerah masih ada ortu yg beranggapan, perempuan gak perlu lah sekolah tinggi, dll. Kawin aja kalo ada yg mau. Nice film ya...
ReplyDeleteiyaaa aku juga sedikit kaget sih, ternyata di jaman digital, ya memang masih ada anggapan seperti ini, utamanya di daerah yang lebih pelosok kali ya. Kalau yang di kota besar sudah lebih terbuka pikirannya.
Deletemeski dah abad 21, cerita film ini masih related ma kondisi sekarang rasanya
ReplyDeleteiya Bang, ternyata masih banyak yang mengalaminya. Karena ternyata masalahnya bukan di terjadi di jaman apa, tapi orang-orangnya yang belum terbuka pikirannya dan masih hidup di jaman yang lawas :')
Delete