Mengenal Justitia Avila Veda, Pendamping Pro Bono bagi Korban Kekerasan Seksual Berbasis Gender

 

Saat ini, segala kemudahan teknologi memungkinkan kita untuk bersosialisasi, mencari informasi, hingga berjejaring di media sosial. Sayangnya, hal ini tidak menjadikan media sosial menjadi tempat yang lebih aman dan bebas dari kekerasan seksual berbasis gender.

Menurut data CATATAN TAHUNAN (Catahu) dari laman Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual berbasis gender di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya. Sebagai gambaran, di tahun 2020 terdapat 299.911 kasus yang dilaporkan. Kemudian di tahun 2021 meningkat menjadi 338.496 kasus, sedangkan di tahun 2022 bertambah menjadi 339.782 kasus.

 


Apa itu Kekerasan Seksual Berbasis Gender?

Merujuk pada definisi oleh Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Kekerasan Berbasis Gender (KBG) adalah kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seksual atau gender. Ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan.

Sedangkan Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi, sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata, dimana tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan seksual atau gender. Jika tidak, maka kekerasan tersebut masuk dalam kategori kekerasan umum di ranah online.

Kenapa harus dibedakan?

Ternyata tujuannya agar solusi yang diberikan lebih tepat dan efektif. Jika KBGO yang terjadi, solusinya tidak semata penegakan hukum, tetapi diperlukan juga aksi intervensi yang mampu mengubah cara pandang pelaku terkait relasi gender dan seksual dengan korban. Tanpa intervensi ini, setelah menjalani hukuman, pelaku akan tetap memiliki cara pandang bias gender dan seksual.

Sampai hari ini, ada 8 bentuk kekerasan berbasis gender online yang masuk dalam laporan Komnas Perempuan. Banyak ya?! 

Kedelapan bentuk kekerasan tersebut adalah pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).

Sementara itu, dalam Internet Governance Forum dipaparkan bahwa kekerasan berbasis gender online mencakup spektrum perilaku, termasuk penguntitan, pengintimidasian, pelecehan seksual, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan eksploitasi. KBGO juga dapat masuk ke dunia offline, di mana korban atau penyintas mengalami kombinasi penyiksaan fisik, seksual, dan psikologis, baik secara online maupun langsung di dunia nyata saat offline.

Aku rasa dengan memahami apa saja yang termasuk ke dalam kekerasan berbasis gender dapat memberikan wawasan dan kewaspadaan kepada kita, agar tidak menjadi salah satu korban. Atau lebih buruk lagi, menjadi pelakunya.



Maraknya Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang diungkap di Media Sosial

Fakta di lapangan, banyak korban kekerasan seksual yang tidak berani bersuara atau melaporkan kasusnya karena kawatir akan stigma sosial. Banyak pihak yang justru menyalahkan dan menyudutkan korban, sehingga korban terpaksa menanggung konsekuensi sosial dan ekonomi. Ironinya, si pelaku malah bisa melanjutkan hidup seperti biasanya, seolah-olah tidak ada peristiwa keji yang telah terjadi.

Tidak heran, beberapa tahun belakangan, banyak korban yang memanfaatkan media sosial untuk bersuara mengungkap fakta. Hal ini dianggap mereka sebagai jalan terakhir untuk mencari keadilan. Sayangnya, di sisi lain justru hal ini dapat memberikan efek negatif pada korban. Menurut penelitian yang dimuat Journal of Feminism and Psychology di tahun 2018 silam, disebutkan bahwa mengungkapkan kasus di media sosial justru membuat korban mengalami dekriminalisasi dari para pengguna media sosial lainnya.

 


Pendampingan Pro Bono bagi Korban Kekerasan Seksual Berbasis Gender

Dari keprihatinan inilah, Justitia Avila Veda, seorang perempuan yang berprofesi sebagai advokat, berinisiatif untuk membuka konsultasi hukum online di media sosial X (sebelumnya Twitter). Ternyata cuitannya menjadi viral, dan dalam rentang waktu 24 jam, ada 40 aduan kasus kekerasan yang masuk melalui surel, belum lagi puluhan aduan lain yang masuk ke DM-nya.


Justitia Avila Veda, Berjuang Menghapus Kekerasan Berbasis Gender – Home (humaneducationcentre.com)


Dalam sebuah sesi wawancara, Justitia Avila Veda juga menjelaskan alasannya membuka konsultasi hukum online karena memviralkan kasus di media sosial sebenarnya tidak efektif.

Efek negatif yang mungkin terjadi pada korban adalah penyebaran konten intim karena kasus ini paling sering terjadi. Memang, kan, media sosial itu luas sekali jadi aku selalu kasih advice, untuk jangan diviralin. Minimal kalau proses hukum lagi berjalan karena bisa mempengaruhi prosesnya.”

Setelah cuitannya viral, banyak rekannya sesama advokat juga menawarkan bantuan untuk membantu para korban. Hal inilah yang akhirnya membuatnya mantab untuk membentuk Kelompok Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) pada Juni 2020. Tujuan utamanya adalah untuk mendampingi korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan hukum.

KAKG memberikan layanan  mulai dari konsultasi hingga pendampingan korban selama proses hukum berjalan. Pendampingan di sini tidak hanya terbatas pada pendampingan hukum saja, namun juga ada opsi untuk bantuan psikologis dan medis, tergantung apa yang dibutuhkan oleh korban saat itu.

Tidak jarang, korban hanya menginginkan bantuan untuk mengembalikan kondisi psikologisnya saja. Dalam hal ini, KAKG akan membantu untuk pemulihan ke psikologi atau psikiater. Khusus untuk kasus kekerasan seksual, biasanya proses hukum akan dijalankan setelah korban membaik secara psikologis.

 


Apresiasi ASTRA kepada Justitia Avila Veda dan KAKG

Semangat dan kerja keras Justitia Avila Veda dan kawan-kawan ini patut didukung dan diacungi jempol. Kepedulian dan kegigihan mereka sejauh ini telah berhasil membantu lebih dari 150 kasus kekerasan seksual sejak KAKG dibentuk.

Membantu dan  mendampingi korban kekerasan seksual bukanlah hal yang sederhana dan mudah. Adalah sebuah proses yang panjang dan berliku, yang tentunya menguras waktu, tenaga, dan pikiran.

Diakui pula oleh Justitia bahwa sulitnya korban mendapatkan keadilan juga membuat dirinya dan rekan-rekan di KAKG kerapkali dilanda frustrasi. Tapi hal ini justru menjadi cambuk semangat untuk terus berjuang.

Itulah sebabnya Astra melalui Indonesia Awards menganugerahkan penghargaan Semangat Astra Terpadu (SATU) pada tahun 2022 silam. KAKG merupakan sebuah harapan baru bagi seluruh korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan hukum.


Voting Finalis Favorit 13th SATU Indonesia Awards 2022 (satu-indonesia.com)


Teman-teman yang mungkin saat ini membutuhkan bantuan hukum, atau sekadar tempat bercerita tentang kekerasan seksual yang dialami, dapat menghubungi hotline KAKG di laman Instagram @advokatgender. Atau jika lebih nyaman bercerita di surel bisa ditujukan ke konsultasi@advokatgender.org

Kita, sebagai teman atau keluarga, juga bisa membantu dengan cara mendengarkan curahan hati mereka tanpa menghakimi atau bahkan menyalahkan. Berikan dukungan yang mereka butuhkan, sebuah pelukan, dan jangan lupa kuatkan hati mereka. Dengan begitu, kita SATU Indonesia bisa bersama-sama memberikan ruang yang nyaman buat para korban.



Comments

  1. Kalau baca" suka serem,karena banyak buangeet kasus kekerasan seksual yg terjadi di masyarakat bahkan lingkungan terdekat kita sendiri dan biasanya korban malu jadi lebih memilih bungkam padahal traumanya seumur hidup, sedangkan pelaku bebas berkeliaran, skyukurnya ada si mbknya dan rekan" advokat lain yg baik banget mau membantu dan memfasilitasi, dari namanya saja mbak Justitia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya kan mbak. Kebanyakan setelah cerita malah kita disudutkan seolah2 kurang berhati2, atau salah gaul sehingga terjadi pelecehan πŸ˜‘ gimana ngga males mau lapor 😀 tapi kalau ada wadah seperti KAKG semoga bisa membantu teman2 yang jadi korban. Semiga lagi bisa memberi efek jera sehingga kasus bisa berkurang kan

      Delete
  2. saat ini sepertinya korban kekerasan seksual itu seperti disudutkan
    dan kebanyakan pihak lebih berpihak kepada pelaku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kenapa gitu ya? Dan itu nggak lihat gender lho.. pokoknya korban selalu dipertanyakan gitu kredibilitasnya. Ya mungkin sebelumnya ada preseden buruk soal kasus yang dibuat2 tapi sebaiknya posisi korban harus dikuatkan terlebih dahulu

      Delete
  3. Banyaaaak memang korban kekerasan ntah itu secara online atau offline yang tidak mendapatkan keadilan, atau kebanyakan ga berani juga untuk menyeret pelakunya.tapi akibatnya mereka sendiri yg jadi makin stress dan depresi.

    Baguuus kalo ada komunitas hukum advokat yg mau membantu. Setidaknya untuk bisa memulihkan mental para korban dulu. πŸ‘. Bagus2 loh pilihan Astra ini untuk mendapatkan award. Yg aku baca semuanya komunitas atau Orang2 yg memang udah membantu banyak orangπŸ‘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener mbak, pilihan astra ini selalu yang berdampak cukup besar, dan bukan orang2 yang punya nama besar. Mereka orang biasa yang semangatnya besar untuk mengubah hal2 di sekitar dengan keahlian yang mereka miliki. Salut deh, senang banget membaca profil2 kandidat astra ini.

      Delete

Post a Comment

Halo, terima kasih sudah membaca. Tinggalkan komentar ya, biar aku bisa balas BW 😊

Popular posts from this blog

Kecombrang, Pemilik Aroma Segar Dan Rasa Khas Dari Hutan Indonesia

14+ First Love (2015), Kisah Cinta Pertama dari Sinema Rusia

Menikmati sistem transportasi di Jakarta, sudah keren banget!