Filosofi Stoisisme: Berbahagia itu Mudah
selalu ada jalan pulang, sumber:instagram.com/sellypadi
Beberapa hari belakangan aku
dilanda depresi ringan. Aku merasa gagal.
Beberapa penolakan diwaktu yang
berdekatan membuat semangatku menciut. Sudah rajin olahraga dan menjaga makan, angka
di timbangan tak kunjung turun. Bahkan main candy crush saga pun gagal di level
yang sama selama berhari-hari. Fiuh. Pokoknya lirik lagu Fix You milik Coldplay
itu mewakili hatiku banget deh. Stuck in
reverse, begitu kata Chris Martin.
Mungkin terdengar lebai ya untuk
mengkategorikan diri ke depresi. Tapi yang jelas, ada perasaan sedih dan kalut,
yang muncul karena hal-hal berjalan tidak sesuai rencana. Ambyar....
Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan
galau, masihkah ada hal baik yang akan terjadi pada diriku? Akankah ada titik
terang di ujung lorong yang gelap ini? *tambahlebai*
Sembari mbulet di pusaran galau
ini, aku berusaha mengalihkannya dengan berselancar di internet. Aku menemukan
sebuah artikel tentang Stoicism atau Stoisisme.
Stoisisme adalah salah satu
cabang filsafat Yunani kuno yang mengajarkan kita bagaimana menghadapi dunia
yang penuh kejutan. Bahwa hidup tidak selalu berjalan lancar sesuai ekspektasi.
Stoisisme memberikan pemahaman
bahwa kita bisa menemukan kebahagiaan dalam diri, apapun yang terjadi.
Terdengar mudah, ya?
Hmmm...
Kusadari, masalahku ini bukanlah
masalah maha berat yang akan berdampak sistemik pada keseimbangan di semesta
ini. Masalah ini hanya akumulasi perasaan-perasaan kecewa yang kualami beberapa
waktu belakangan. Kusadari betul hidup memang tidak selamanya semulus
perosotan. Pasti selalu ada ups and down. Tapi ketika perasaan gundah ini masih
juga muncul... mungkin stoisisme ini sesuatu yang memang kubutuhkan saat ini.
Kuputuskan untuk melanjutkan
membaca artikelnya. Menariknya, ada tips-tips yang bisa diterapkan dengan mudah
dikehidupan sehari-hari. Nah gini dong, solutip kayak Bu Tejo~
Berikut kucoba jabarkan dengan gaya
bahasa saya ya (^0^)
Tips #1, Dikotomi kendali
Salah satu kutipan Stoisisme yang
paling terkenal adalah dari Victor Frankl, salah seorang tokoh filosofi ini:
“When we are no longer able to change a situation, we are challenged to
change ourselves.”
Dikotomi kendali adalah konsep
bahwa dalam hidup ini, ada hal-hal yang dapat kita ubah (di dalam kendali kita)
dan ada hal-hal yang tidak dapat kita ubah (di luar kendali kita).
Misalnya, ketika akan ujian.
Hal-hal yang dapat kita
kendalikan adalah usaha kita, sebelum hingga saat ujian berlangsung. Sebelum
ujian, kita harus rajin berlatih mengerjakan soal-soal, minta bantuan teman
yang lebih pandai, lebih memahami teori bukan sekadar menghafal, menjaga
kesehatan agar tidak ambruk di hari H, dan tentunya berdoa serta minta didoakan
yang banyak.
Ketika ujian tiba, kita masih
harus berjuang mengingat hafalan-hafalan yang mulai kabur, juga semaksimal mungkin
menerapkan jurus mengarang bebas di ujian esai.
Setelah ujian, semua sudah di
luar kendali kita. Kita hanya bisa menunggu hasilnya sambil harap-harap cemas. Dengan
mempersiapkan segalanya dengan baik (di dalam kendali kita), jikalau gagal,
kita mungkin kecewa, tapi tidak memiliki penyesalan. Karena penyesalan terbesar
bukan hasil ujian yang gagal tapi karena menyadari bahwa kita kurang persiapan.
This!!!
Daripada meratapi hasil ujian yang
tidak sesuai ekspektasi (di luar kendali kita), pahami bahwa paling tidak kita
sudah mencobanya, dan sudah punya pengalaman kalau mau mencobanya lagi. Mantab
jiwa!
Ketahuilah bahwa, sumber
ketidakbahagiaan adalah ketika kita mencoba mengubah hal-hal di luar kendali
kita. Melelahkan~
Membaca ini, aku terhenyak. Iya juga
sih.
Penolakan demi penolakan yang
kuterima, memang bikin sedih sih. Tapi aku gak menyesal kok. Aku merasa sudah
cukup maksimal mengerjakannya. Aku sudah memberikan yang terbaik. Soal hasilnya
yang tidak sesuai harapan, ya mau bagaimana lagi. Ini sudah di luar kendaliku. Mungkin
aku yang kurang beruntung, dan yang lebih mungkin lagi pekerjaanku kalah bagus
dengan pesaing lainnya, hehehe. Belajar lagi aja yokk π
Tips #2, Tidak ada hal baik atau buruk, semua netral
Ilustrasinya begini. Hal-hal yang terjadi di kehidupan kita setiap harinya, biasanya akan kita kategorikan sebagai hal yang menguntungkan atau yang bikin sial. Misalnya sudah sampai di ujung gang baru ingat kalau lupa tidak pakai masker. Akhirnya kembali lagi ke rumah, Eh sampai rumah, hujan turun dengan deras. Yang pertama terlintas adalah, waduh, sial ini pasti datang telat ke janjian. Tapi untunglah karena tidak basah kehujanan.
Jadi peristiwa ini keberuntungan atau bikin sial?
Mengutip salah satu tokoh Stoisisme
yang lain, Epitectus pernah berkata:
“It is not things in themselves that trouble us, but our opinions of
things.”
Dengan menganggap semua hal
adalah netral, kita tidak akan baper atau overthinking kalau terjadi sesuatu.
Semisal, chat yang sering tidak dibalas
oleh mas/mba crush. Tidak perlu mikir macam-macam apalagi jauh-jauh. Udah,
mundur aja pelan-pelan, cari gebetan lain. Pukpuk...
Tips #3, Apa yang kita takutkan, tidak sungguh-sungguh menakutkan
Seorang tokoh Stoisime yang lain,
Seneca berujar,
“We suffer more in imagination than in reality.”
Apa yang sebenarnya kita
takutkan? Takut gagal? Takut ditolak?
Ketakutan-ketakutan ini yang seringkali menghantui dan menghalangi kita untuk mencoba hal-hal baru.
Bener nggak. Hayo
ngaku!
Padahal sebenarnya, ketika
akhirnya kita benar-benar mencobanya, seringkali akan terdengar kata-kata,
“Ealah, ngunu thok!”
Dengan menerapkan teori ini, setidaknya
kita bisa menghilangkan keraguan dalam diri. Kita tidak perlu takut untuk
mencoba hal baru yang ingin kita lakukan. Coba saja dulu karena masih ada 2
kemungkinan, bisa saja gagal, tapi masih ada kemungkinan sukses lho! Minimal,
setelah mencoba kita bisa tahu apakah kita benar-benar tertarik dengan hal tersebut.
Hidup cuma sekali, Hyung. Lebih baik
gagal ketika mencoba, daripada menyesal karena tidak pernah mencoba~
Tips #4, Merasa cukup dengan apa yang kita miliki saat ini
Dalam banyak hal, kita kerapkali
menginginkan hal-hal yang belum kita miliki. Sampai-sampai lupa dan tidak
menghargai apa yang sudah kita punya, karena terlalu fokus mengejar yang belum
dimiliki.
Mengutip Epictetus, “...freedom
isn’t secured by filling up on your heart’s desire but by removing your desire.”
Kita juga sering membaca atau
mendengar nasihat tentang mensyukuri hidup kita, bukan? Tapi bagaimana sih persisnya cara
untuk mensyukuri hidup ini?
Soal ini aku juga pernah membaca
di... sayangnya aku lupa.
Kata-katanya kurang lebih begini:
Caranya dengan merasa cukup
dengan apa yang kita miliki saat ini. Kebahagiaan tidak ada di tujuan di depan
sana. Kebahagiaan dirasakan di dalam perjalanan. Kebahagiaan dirasakan
sekarang, hari ini, saat ini.
Rasakan panas dan nikmati angin
kemarau saat ini. Saat-saat tidak perlu khawatir bakal kebasahan, atau bahkan
kebanjiran. Bukan malah mengeluh dan berharap kapan hujan akan datang. Nikmati, karena
inilah yang kita punya saat ini.
Merasa cukuplah dengan yang kita
punya saat ini. π
Aku rasa sebenarnya tidak ada
yang benar-benar baru dalam Stoisisme ini. Sering kali nasihat-nasihat semacam ini
kubaca dan kudengar. Tapi dasar aku, harus dingatkan lagi dan lagi, biar tidak
lupa π
Dan benar, tidak sulit kok untuk
menjadi bahagia, asal tahu caranya π
Sumber: dailystoic.com
Sebenarnya aku baru tahu Stoisime, ternyata salah satu cabang ilmu filsafat Yunani kuno ya.
ReplyDeleteMemang hampir semua yang ada di Stoisime kadang kulihat sih, biasanya di status Facebook.
Menurutku berat badan ngga usah dipikirkan, yang penting sehat saja sih mbak. Kalo kurus nanti dikira suami ngga cukup ngasih makan.π
Iya Mas, sepakat ya, bukan hal baru ya hehehe
DeleteBtw, tipsnya soal berat badan boleh juga Mas wkwkwk
Betul mbak, kalo berat badan kita naik itu bukan salah kita, tapi timbangan nya yang salah tuh.π
DeleteHahaha iya mas, emang nyebelin kok timbangan itu π
DeleteArtikelnya menarik. Makasih yaa..jadi lebih menghargai apa yang ada dan dimiliki saat ini...
ReplyDeleteSama-sama mbak, alhamdulillah kalau bermanfaat. Terima kasih sudah membaca ya ππ
Delete