Capernaum (2018): Menjadi Orang Tua Mungkin Sulit, Menjadi Anak Apalagi
Capernaum dibuka dengan kisah
tentang Zain, seorang bocah laki-laki dari Beirut yang sedang berada di
pengadilan. Dirinya merupakan seorang narapidana dengan vonis lima tahun di penjara anak-anak karena telah menusuk seseorang. Tapi persidangan kali ini
berbeda karena dia sedang menuntut kejahatan orang tuanya, karena melahirkannya
dan adik-adiknya ke dunia ini tanpa rencana, membiarkan anak-anaknya hidup
dalam kemiskinan, dan sepertinya masih akan terus punya anak lagi.
Lalu cerita beralih ke masa lalu
ketika Zain masih di rumah bersama keluarganya. Diceritakan bahwa Zain terlahir
dari keluarga miskin. Usianya diperkirakan 12 tahun (saking miskinnya,
tidak ada satupun anak yang terdata secara administrasi di negara). Tidak diceritakan
secara mendetil sih, namun di rumahnya, selain Zain dan adiknya Sahar, masih
ada sekitar enam atau tujuh orang adik lagi!
Zain dan Sahar (dua anak yang
paling besar) harus bekerja pada sebuah toko kelontong dan menjual jus untuk
membantu orang tuanya. Kedua anak ini tidak disekolahkan karena menurut Ayahnya
kalau pergi ke sekolah pemasukan keluarga akan berkurang. Beberapa adegan
menceritakan betapa Zain ingin sekolah ketika bertemu dengan rombongan antar
jemput sekolah, tatkala bekerja mengantarkan galon air minum ke pelanggan.
Suatu hari, Zain mengetahui bahwa
Sahar mendapatkan menstruasi pertamanya. Dia langsung bersikap protektif dan
meminta Sahar membersihkan celananya yang tembus dengan darah, dan
menyembunyikan kejadian ini dari ibunya. Menurut Zain, kalau ayah dan ibunya
tahu, Sahar pasti akan langsung dinikahkan dengan Assad, bos tempat mereka
bekerja di toko kelontong.
Ternyata benar dugaan Zain. Suatu
hari sepulang bekerja, Zain mengetahui bahwa Assad datang bertamu membawa dua
ekor ayam hidup. Ternyata Sahar telah dilamar oleh Assad. Zain marah sekali
pada ibunya. Malam itu dia memutuskan besok pagi akan membawa pergi adiknya
kabur dari rumah.
Malangnya keesokan harinya,
sebelum dia sempat mengajak Sahar pergi, ayahnya sudah terlebih dahulu memaksa
Sahar ke rumah Assad untuk dinikahkan. Tak kuasa mengejar adiknya, akhirnya
Zain memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah.
Pelarian membawanya bertemu
dengan Rahil, seorang perempuan yang bekerja di taman hiburan. Karena iba pada
Zain, Rahil mengajaknya tinggal di rumahnya, dengan imbalan menjaga bayinya, Yonas,
selama dia bekerja dari pagi hingga sore. Karena kebersamaan mereka, Zain
sayang sekali pada Yonas.
Rahil yang seorang imigran dari
Etiopia juga memiliki masalah dengan ijin tinggalnya yang sudah habis karena kekurangan biaya, belum lagi status bayinya yang
tidak terdaftar. Agennya bernama Aspro berjanji akan memberikan ijin tinggal
secara gratis asalkan Yonas diberikan kepadanya, untuk "diasuh" keluarga yang
berada. Tentu saja Rahil menolak mentah-mentah.
Suatu hari Rahil tertangkap dalam razia
dan dipenjara, sehingga tidak pernah pulang ke rumah. Berhari-hari Zain dan
Yonas kelaparan, dan hanya makan susu dan air yang ada di rumah. Zain berusaha
menjual barang-barang dapur milik Rahil untuk makan mereka berdua. Kemana-mana
diajaknya Yonas dengan kereta buatannya sendiri.
Zain mengajak Yonas berjualan |
Zain lalu memutuskan untuk
menemui Aspro agar membantu mencari ayahnya Yonas. Aspro lagi-lagi menawarkan sejumlah
uang untuk ditukar dengan Yonas. Zain tahu niat buruk Aspro dan menolaknya.
Hari-hari berlalu dan Zain semakin kesulitan mencari uang. Belum lagi mereka telah diusir dari rumah sewa Rahil. Sempat berniat untuk meninggalkan Yonas sendirian di jalan,
tapi hatinya tidak tega. Zain sempat berkata, “Ternyata ibumu lebih parah dari ibuku.”
Didera keputusasaan, Zain menemui
Aspro lagi dan akhirnya melepaskan Yonas. Sambil menangis dia mencium Yonas dan
mengucapkan selamat tinggal. Dia juga minta Aspro untuk menyelundupkannya ke
Turki. Aspro berjanji akan membantunya dengan syarat Zain harus punya identitas.
Kemudian Zain pulang ke rumah
keluarganya untuk mengambil identitasnya. Kedatangannya tidak disambut dengan
hangat, malah dipukuli oleh ayahnya. Tanpa sengaja ayahnya mengatakan soal kematian Sahar.
Kemarahan Zain datang lagi
mengetahui kematian Sahar. Bergegas ke dapur mengambil pisau dan Zain segera
berlari berniat akan membunuh Assad.
Lalu kamera kembali ke ruang persidangan.
Sang Hakim bertanya apa yang
diiinginkan Zain. Zain berkata bahwa dia ingin ayah ibunya berhenti punya anak.
Dia lalu melanjutkan, saat ini ibunya sedang hamil, padahal seharusnya mereka berhenti punya anak karena tidak mampu
merawat anak-anaknya. Sepanjang hidupnya, Zain hanya dipukuli dan disuruh bekerja. Dia tidak tahu untuk
apa dia hidup di dunia ini.
Zain juga melaporkan Aspro yang
terlibat dalam perdangangan manusia. Aspro digrebek dan tertangkap, sedangkan
Rahil bisa kembali berjumpa dengan Yonas.
Adegan terakhir, Zain akan
dipotret oleh seorang fotografer. Fotografernya berkata, “Tersenyumlah Zain, ini foto
untuk paspor, bukan untuk sertifikat kematian.”
Dan Zain tersenyum dengan lebar.
Senyum Zain di adegan terakhir |
***
Aku pun ikut tersenyum di akhir
film ketika Zain tersenyum dengan lebar. Akhirnya bocah ini mendapatkan hal
yang baik dan masa depan yang lebih cerah. Semoga ya.
Satu yang pasti, aku menangis
beberapa kali. Oke, kuakui aku memang sedikit cengeng kalau nonton film ππ Tapiiii, sekali lagi ini bukan pembelaan ya hahaha. Menurut aku film ini sedihnya
begitu nyata karena menjadi anak seperti Zain tidaklah mudah. Kalau aku yang
jadi Zain, aku pasti sudah menyerah, atau malah sudah bunuh diri barangkali. Entahlah,
tidak terbayangkan.
Membayangkan anak sekecil itu,
bisa bersikap protektif terhadap adiknya. Kemudian di saat yang sama bisa bersikap
dewasa ketika menunjukkan sikap tidak setujunya kepada ayah ibunya. Saat di
pengadilan pun ketika menjawab pertanyaan hakim, jawabannya sungguh menyayat
hatiku. Karena benar, tidak ada anak yang minta dilahirkan orang tuanya. Punya anak
adalah pilihan orang tua. Kalau ada yang bilang menjadi orang tua sulit,
apalagi menjadi anak, karena mereka tidak punya banyak pilihan ππ
Ketika Zain merawat Yonas
sendirian: memberi makan seadanya, menjaga dan membawanya kemana-mana saat
berjualan. Sampai akhirnya memutuskan untuk melepaskan Yonas pada Aspro,
terbaca patah hati dan rasa bersalah diwajahnya. Air matanya jatuh. Satu-satunya adegan
Zain menangis, selain ketika mendengar kematian Sahar, setelah semua yang
telah dialaminya.
Aku ingat ketika masih kecil
sering merasa pendapatku tidak didengar, karena dianggap masih kecil. Tapi
lalu aku juga teringat sikapku yang mungkin sedikit meremehkan keponakanku, karena
menganggap dia masih kecil π’π’
Teringat juga cerita temanku yang
seorang psikolog, bahwa anak manusia itu luar biasa hebat. Mereka pasti bisa menyelesaikan
tugas apapun. Pasti bisa mengerjakannya, apapun caranya. Yang jadi pertanyaan
adalah, apakah sudah waktunya mereka diberi tugas itu?
Anak-anak seperti Zain biasanya
dewasa sebelum waktunya. Karena keadaan mengharuskan mereka untuk itu. Mereka bisa
menjadi dewasa, tapi apakah sudah waktunya mereka menjadi dewasa?
Sumber foto:
https://images-na.ssl-images-amazon.com/images/I/71rTVezaFfL._SL1500_.jpg
https://mmc.tirto.id/image/otf/500x0/2018/12/10/poster-film-capernaum_ratio-16x9.jpg
https://i0.wp.com/themovierap.com/wp-content/uploads/2020/04/Capernaum.jpg?fit=750%2C380
wooh, setelah membaca review dari mbaknya. Aku rasa... ini cukup mengaduk aduk emosi penonton yaa. Apalagi ada adegan disuruh kawin paksa, orang tua punya banyak anak, kemiskinan, dsb. Komplit kli itu masalah
ReplyDeleteIya Do, tapi aku cukup lega karena endingnya happy. Kecewa beratlah kalau endingnya masih sedih juga hehehe
Deletemakasih reviewnya, penasaran banget ini, sedih , kebawa banget perasaan
ReplyDeleteiya Bu bikin terharu dan sedih filmnya, selamat menonton yaaa kalau penasaran :)
DeleteHallo Kak, ini kali pertama aku berkunjung ke kakak. Dan langsung disuguhkan dengan review yang mengandung bawang :( Sepertinya, aku mau nonton filmnya :(
ReplyDeleteSelamat menonton yaaa... terima kasih sudah mampir ya,, salam kenal ππ
Delete