Alasan vs Penjelasan
instagram.com/sellypadi |
Kejadian yang baru saja terjadi
di hidupku minggu kemarin, membuatku memikirkan tentang keduanya. Kedua hal ini
sekilas mirip lho, tapi sesungguhnya jauh banget perbedaannya.
Kejadian itu juga mengingatkan
aku pada sebuah kutipan, “never ruin an
apology with excuses”. Kurang lebih terjemahan bebasnya, kalau kita
sungguh-sungguh akan meminta maaf, ungkapkan bahwa kita sungguh menyesalinya,
bukan malah memberi alasan untuk membela diri.
Aku pribadi sangat sepakat dengan
kutipan ini. Memang benar adanya, kalau minta maaf tapi kebanyakan alasan itu bikin
ilfil. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya niat minta maaf gak sih? Apakah dia
betul-betul menyesali, atau hanya ingin urusan beres saja?
Ada yang begono. Sebuah kisah
nyata~
Lebih jauh lagi, sebenarnya bukan
semata permintaan maaf saja yang diharapkan, tapi penjelasan ada apa dibalik
sikapnya itu. Benar gak? Menurut teman-teman gimana?
Ilustrasinya seperti ini.
Ketika terlambat datang di sebuah
pertemuan, aku segera minta maaf dan beralasan bahwa lalu lintas macet. Ini
benar sebuah alasan. Lalu lintas memang lagi macet-macetnya, dan aku betulan
terjebak di dalamnya. Alasan ini kusebutkan sebagai pembenaran keterlambatanku.
Aku tidak berdaya, macetlah penyebabnya. Macet itu di luar kuasaku, jadi sebenarnya
bukan salahku 100% lho...
Terdengar menyebalkan gak sih?
Yang sebenarnya terjadi adalah
aku kurang persiapan. Kalau tahu akan berangkat di jam sibuk, harusnya aku
berangkat lebih awal, bangun lebih pagi, dan kalau perlu mempersiapkan segala barang
bawaan di malam sebelumnya.
Alih-alih memberikan alasan
macet, lebih baik jika aku memberikan penjelasan seperti ini. “Maaf ya datang
terlambat, aku salah memperhitungkan waktu, jadinya terjebak macet. Harusnya
bisa bangun lebih pagi, tapi semalam lupa waktu keasikan nonton drakor.”
Gimana, terdengar lebih tulus gak
sih?
Dengan memberikan alasan macet,
orang yang kita ajak bicara bisa saja menjawab, “Gue kena macet juga kali, tapi
bisa kok sampai tepat waktu. Kapan lalu lintas pernah lengang jam segini, hell-to-the-o?!”
Wkwkwk ngetiknya jadi emosi π
Karena
emang nyebelin mah, orang yang beralasan itu~
Tapi lihat perbedaannya ketika memberikan
penjelasan kenapa sampai terlambat. Orang yang kita ajak bicara dapat memahami
dan mau mengerti. Kejadian keasikan nonton drakor bisa dialami semua orang. Bangun
kesiangan bukan cuma kesalahanku saja. Tidak disiplin dalam waktu memang bukan
teladan yang baik, tapi semua orang pernah mengalaminya. Dan itu wajar.
Bukannya marah, yang ada malah kita akan sibuk membahas drakor favorit deh hehehe. Tapi sebenarnya bukan itu tujuannya. Bukan untuk mengalihkan pembicaraan ya π
Tujuannya tetap mengungkapkan
penyesalan kita dan mengambil tanggung jawab kesalahan itu. Aku yang salah
karena tidak disiplin waktu. Hari kerja malah asik begadang nge-drakor. Kalau
saja aku lebih baik dalam pengaturan waktu menonton drakor, aku tidak akan
kesiangan bangun, dan bisa datang tepat waktu.
Orang lain juga akan lebih
menghargainya, lho.
Di saat yang sama, aku jadi
menyadari bahwa perihal pengaturan waktu ini adalah sebuah PR buatku. Kalau
tahu besok akan ada meeting di pagi hari, jangan tidur terlalu malam. Tunda
saja nonton drakor hanya di akhir minggu.
Aku kan bertaahaaan, meski takkan
muungkiin *singasong*
***
Meminta maaf memang tidak mudah.
Mengakui bahwa kita salah, buat banyak orang adalah sesuatu yang besar.
Mengakui kekurangan kita, menunjukkan kelemahan kita, bagi banyak orang adalah
sebuah kekalahan, yang akan membuat perasaan inferior muncul di permukaan.
Aku rasa itu sebabnya banyak
orang memberikan alasan ketika minta maaf. Memberikan alasan itu melepas
tanggung jawab pribadi kita terhadap kesalahan yang kita buat. Bukan kita yang
salah, tapi ada faktor lain diluar kita yang menyebabkan kita melakukan
kesalahan. Bukan aku yang salah, tapi lalu lintas yang macetnya gak ketulungan
yang bikin aku terlambat. See?!
Padahal sebenarnya tidak begitu
lho. Kita ini manusia, tempatnya salah. Yang sebenarnya terjadi adalah, jika
kita mengakui kesalahan kita, mengambil tanggung jawab pribadi itu, kita akan
membuka diri pada sebuah kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Ini bukan sebuah kekalahan!
Kita jadi menyadari bahwa ada
sesuatu yang harus diperbaiki. Kita punya kesempatan memperbaiki kesalahan, dan
tidak lagi mengulanginya. Lebih hebatnya lagi, orang yang kita sakiti akan memaafkan
kesalahan kita, memahami kejadian yang sebenarnya, dan mengerti kesulitan kita.
Sungguh tidak ada maksud untuk menyakiti.
Bahkan, mungkin saja dia bisa
membantu mengatasi kesulitan kita ini. Misalnya, “Meeting berikutnya online aja
yuk, biar sama-sama hemat waktu di perjalanan.”
Asal jangan telat lagi ya!π
*Tulisan ini diikutsertakan dalam
sayembara Paid Guest Post di blog Creameno. Cerita selengkapnya ada di Hadiah Manis di September 2020: Buku Antologi Keduaku.
Kalau saya tidak pernah menyampaikan alasan apapun di kesempatan pertama minta maaf. Saya cuma bilang, maafin saya. Sudah titik.
ReplyDeleteKalau saya diminta menjelaskan, baru saya sampaikan apa yang membuat saya melakukan kesalahan itu dan saya tidak akan mendebat lagi kalau alasan tersebut ternyata tidak bisa diterima oleh orang yang saya kecewakan. Intinya saya minta maaf karena sudah mengecewakan, apa pun alasannya.
Membuat alasan, pembenaran bahkan sampai melimpahkan kesalahan ke orang lain nampaknya memang naluri manusia untuk membela diri, kadang tidak bisa juga dicegah. Tapi setiap orang pasti bisa menilai, ketulusan seseorang yang minta maaf dari caranya menyampaikan itu.
Iya Kak, kelihatan kok kalau gak tulus minta maafnya. Cuma sekedarnya dan sambil lalu aja.
DeleteTulisan ini juga sebenarnya menjadi pengingat diriku. Pas banget ada kejadian dengan seorang teman, jadilah kutuliskan di sini biar tidak lupa.
Btw, jadi ingat katanya Tao Ming Tse F4, "Kalau semua masalah diselesaikan dengan minta maaf, buat apa ada polisi." Tau gak kak? Hehehe
ya ampuunnn, ini yang selalu saya inginkan dari semua permintaan maaf.
ReplyDeleteMeminta maaf dengan tulus, yaitu mengakui kalau salah, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, that's it!
Andai semua orang bisa berpikir secerdas ini ya, huhuhu
Kayaknya bukan soal kecerdasan sih mbak, tapi soal prioritas saja π Yang melakukan hal ini jelas prioritasnya adalah dirinya sendiri. Huft....
DeleteSetuju mba. Minta maaf yg disertai alasan, malah bikin ga tulus. Akuin aja kalo salah. Ga usah excuses macem2. Apalagi kalo alasannya yg udh basi kayak macet.
ReplyDeleteTp aku pernah dapet anak buah yg sering 'kreatip' bikin alasan macet :D. Rumah dia tuh dekeeeeet Ama kantor. Justru dia yg rumahnya terdekat dibanding kita semua. Tapi yg sering telat dia juga. Kan kesel yaaaa.
Awalnya dia pake alasan macet, yg mana lgs aku tolak. Iya memang walo Deket, kawasan itu macet. Tp kan start macetnya jam 7.30 ke atas. Trus ganti alasan, telat bangun, pernah juga lupa idupin weker, yg trakhir pake alasan, kejebak kereta api lewat sampe 3x wkwkwkwkwkkw. Memang banyak jalur KA di situ.
Lama2 aku terapin aja denda tiap yg telat, termasuk aku. Abisnya kalo ga gitu telat Mulu.
Nah, apalagi kalau sudah berulang kali ya mbak. Pengen bilang, "gak kotor gak belajar". Eh salah, maksudnya "gak belajar sama sekali ya dalam hidup?" Aku paling gak respek sih sama orang yg melakukan kesalahan yg sama, dan masih aja kebanyakan alasan. Sebenarnya sikapnya itu tidak menghargai orang lain! Duh jadi emosi π€ͺπ€ͺ
Deletedan itu banyak terjadi ya, kadang sampai malas denger alasannya
ReplyDeleteBetul, Bu. Kalau dia nggak mau berubah, mungkin sudah waktunya kita yg berubah πππ
Delete