[REVIEW BUKU] Goodbye, Things by Fumio Sasaki
Hai hai hai...
Apa kabar teman-teman semua? Meskipun
berlibur di rumah saja, yang penting kita semua selalu sehat dan masih
berkumpul bersama keluarga ya πππ
Sebagai penutup akhir tahun, aku
mau pamer hahaha. Akhirnya aku bisa menyelesaikan bukunya Fumio Sasaki yang
berjudul Goodbye, Things. Karena bukunya
pinjam di Ipusnas, 3 hari nggak selesai ditarik sama sistem, mau pinjam lagi
harus antri lagi, akhirnya total bisa menyelesaikan buku ini ada sebulan kali πππ
Eniwei, aku sangat tertarik
dengan gaya hidup minimalis. Sempat kubahas juga beberapa kali soal ini di
blog. Mencoba menyortir barang, menyederhanakan koleksi, mengubah cara
belanja, dan cara menyimpan barang. Tentu saja kalau mengaku-aku sudah jadi
minimalist belum berani sih, tapi pengen banget jadi salah satunya.
Baca juga: Minimalism, Are you in?
Seperti dibahas di bukunya, Fumio
mengatakan bahwa tidak ada standar harus seperti apa menjadi minimalist itu. Semua
dikembalikan ke diri kita masing-masing, ke kebutuhan masing-masing. Ada yang
merasa masih butuh alat-alat elektronik, bukan berarti dia tidak minimalist. Asalkan
barang-barang tersebut sungguh-sungguh diperlukan dan dipakai, artinya
barang itu tidak mubazir kita miliki.
Banyak sekali pencerahan yang kudapat setelah membaca buku ini. Fumio sepertinya sukses mengubah mindset-ku dan banyak sekali tips baru yang diberikan, yang baru buatku.
Beberapa catatan yang ku-hilite dari buku ini mengingatkan sekali
lagi tentang gaya hidup minimalis yang mungkin kulewatkan:
Kiat berpisah dari barang no 19: Biarkan ruang tak terpakai tetap kosong
OMOOOO, ini aku banget sih πππ
Rasanya mindset saat ini masih dalam mode un-minimalis (apa sih?!). Kalau ada ruang yang kosong itu rasanya mubazir banget, pengennya kuisi dengan barang, hahaha. Malah terbalik kan!
Kalau menurut Fumio, seharusnya jika ada ruangan kosong malah sebuah
kemajuan. Bukan berarti tidak boleh diisi, namun kosong pun tak mengapa, jika
tidak ada suatu barang yang perlu ditambah. Jangan sampai menambah barang hanya
untuk mengisi kekosongan ruang, itu poinnya!
Setelah kuanalisa lebih jauh,
ternyata mindset-ku ini berawal dari
gaya minimalis di dunia interior. Dalam teorinya, ruang kosong itu harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin agar ruangan yang kecil bisa bermanfaat secara maksimal.
Hahaha... sama-sama minimalis tapi beda konteks deh π
Kiat berpisah dari barang no 37: Membuang memorabilia tidak sama dengan
membuang kenangan
Sungguh, berpisah dengan barang kenangan memang yang paling sulit. Ada rasa bersalah, yang paling utama. Memang sih bisa difoto, kalau katanya Fumio.
Tapi yang paling membuatku yakin, dan
akhirnya bisa melepas pelan-pelan adalah kata-kata Fumio yang kurang lebihnya
begini, “Setiap kenangan itu ada di dalam pikiran kita. Begitu kita melihat
fotonya, segala kenangan tentang barang itu akan muncul dan kita masih bisa
tersenyum mengingatnya.”
Satu hal lagi, aku nggak perlu
mengenang setiap hari. Aku nggak memerlukan barang itu untuk ada setiap hari. Sesekali
ketika aku ingin mengenangnya, akan kukeluarkan dari kotak kenangan digitalku πππ
Kiat berpisah dari barang no 47: Jangan ulangi “kesalahan Concorde”
Buat yang belum tahu, “kesalahan
Concorde” garis besarnya adalah menjadikan biaya masa lalu sebagai acuan keputusan
di masa depan. Meskipun proyek Concorde adalah sebuah kerugian, namun karena
investasi di masa lalu yang sangat besar, manajemen memaksa untuk menyuntikkan
dana terus menerus, hingga akhirnya, ya benar-benar gagal dan merugi.
Lucunya, sebenarnya aku
mempelajari ini di bangku kuliah, tepatnya di mata kuliah Akuntansi Manajemen. Konsepnya juga sama, bahwa biaya di masa lalu tidak boleh menjadi dasar keputusan di masa depan. Ketika membaca bab ini, aku teringat, dan WOW, ini sebenarnya sudah kuketahui sejak lama di pekerjaan,
tapi tidak kuterapkan dalam kehidupan pribadiku!
Aku sendiri punya pengalaman ini, dan sampai kemarin masih terjebak di situasi yang sama ππ
Aku punya sebuah blus yang lucu, sayangnya bermodel lengan pendek. Karena aku sudah berhijab, aku harus mencari cara biar tetap bisa memakainya. Solusinya adalah memberikan outer biar bisa dikenakan bersama blus itu. Solusi cepat dan tepat bukan!
Tapi sebenarnya, aku nggak suka pakai baju dobel-dobel karena, please ya, aku tinggal di negara tropis nan eksotis, gerah woi! Tapi karena aku masih kepingin pakai baju itu, ya satu-satunya cara dengan membeli outer. Sayang banget kalau blus itu nggak dipakai lagi. Blusnya masih bagus, modelnya lucu, harganya dulu juga lumayan.
Akhirnya kubeli
outer yang senada dengan blus itu. Dan tebak saudara-saudara, hanya sekali blus
dan outer itu kupakai, keesokan hari setelah outer terbeli. Kedua kalinya? Nope, karena
gerah, titik.
See?! Lihat modusnya. Karena sayang dengan barang yang sudah dibeli
di masa lalu, akhirnya aku membeli barang baru untuk mempertahankannya. Yang akhirnya
aku menumpuk barang saja tanpa pernah kupakai lagi. What a waste! Yang semula kupikir cara kreatif dalam memanfaatkan
barang, malah berakhir dengan (lagi-lagi) menumpuk barang ππ
Tapi aku sudah insap. Yang tidak
pernah kupakai dalam jangka waktu setahun terakhir, fix sudah kupindahkan
kepemilikannya πππ
Note: Masalah ini sebenarnya juga dibahas di Kiat bepisah dari barang no 30, yaitu tidak perlu memikirkan harga yang sudah dibayarkan.
Kiat berpisah dari barang no 50: Tidak perlu membeli karena murah,
tidak perlu mengambil karena gratis
INI AKU BANGET! πππ
Demi bisa dapat diskon besar, aku bersedia membeli lebih banyak dari yang kubutuhkan. Siapa tahu nanti perlu.
Demi bisa membawa pulang hadiah yang lucu, aku membeli barang yang tidak kubutuhkan.
Demi barangnya gratisan, aku membawa pulang barang yang tidak kubutuhkan.
Dan semuanya berakhir di tumpukan barang di pojokan kamar. Huft.
Setelah membaca bab ini, baru
kusadari kenapa kamarku tak kunjung berkurang isinya seperti apartemennya Fumio. Ternyata
oh ternyata... aku mulai canggih menyingkirkan barang, tapi aku juga semakin
canggih mendapatkan alasan untuk menambah barang π
Aku berjanji, aku harus lebih fokus ke
manfaat barang tersebut. Apakah aku membutuhkannya sekarang? Kalau nanti, ya
nanti saja membelinya ketika benar-benar diperlukan. Meski gratis, lupakan
saja.
Kiat berpisah dari barang no 53: Bersyukurlah
Fumio benar.
Ketika hanya memiliki barang yang
kubutuhkan, rasa syukur menyelinap ke dalam hati dan hatiku terasa penuh. Aku memang
belum benar-benar menjadi minimalist. Tapi melihat kamarku yang jauh lebih rapi
karena barang yang lebih sedikit, dengan barang-barang yang benar-benar kupakai,
baju dan celana yang benar-benar kusukai, koleksi buku yang benar-benar
kusayangi, dan alat elektronik yang benar-benar memberiku kenyamanan di kamar,
aku merasa sangat-sangat bersyukur.
Inilah yang benar-benar
kubutuhkan dalam hidup di kamar ini.
Aku nggak butuh yang lainnya.
Belum, mungkin.
Saat ini, aku sudah merasa puas.
Dulu ketika kamarku penuh dengan
barang, aku malah merasa sumpek karena selalu berantakan dan terbebani karena
aneka tugas yang menumpuk. Ada tumpukan buku yang menanti dibaca (tak kunjung
kubaca karena aku malas dengan prolognya, tapi merasa sayang kalau dihibahkan
tanpa dibaca terlebih dahulu), tumpukan kertas gambar yang sayang kalau
dibuang, aneka alat make up diskonan yang jarang kupakai tapi sayang kalau dibuang, dan masih banyak lagi barang-barang yang labelnya “sayang kalau
dibuang”.
Itu dulu.
Sekarang, legaaaa.
Aku lebih bahagia, lebih betah di
kamar.
Dan aku lebih penuh syukur, atas
apa yang kumiliki.
Fumio benar. Bukan seberapa banyak barang yang dipunya yang membuat kita bersyukur, tapi mengetahui apa yang kita punya bermanfaat adalah yang kita syukuri setiap saat πππ
Sepertinya aku akan membeli buku ini secara fisik dan menjadikannya salah satu buku koleksi yang kusukai.
Ada yang sedang atau sudah membaca buku ini juga? Bagaimana kesan kalian membaca buku ini?
Hai mbak tika, selamat ya...akhirnya kelar juga nyelesaiin buku ini.
ReplyDeleteAnyway, aku mau share sesuatu yang a bit weird.
Semalam, aku mimpi aneh, di mana aku punya tanggungan untuk nyetrika baju sebanyak 3 keranjang.
Luckily it was just a dream.
Trus pas bangun aku mikir-mikir, hey, I'm a minimalist, how could I have that much clothes π
Nice post by the way.
Keep up the good work mbak.
Hahaha iyaaaa,, horor bgt yaaa punya tanggungan setrikaan segitu π€ͺπ€ͺπ€ͺ
DeleteWow, udah minimalist yaaa...Keren!!! Im working on it!
Sekarang pun sudah bahagia sekali karena meski pakai baju lu lagi lu lagi, tapi aku gak merasa bersalah lihat baju yg numpuk jarang kupakai karna kurang nyaman. Ahh soo yesterday π π
btw makasih udah baca, selamat liburan ya kak Prima, have fun!
Saya suka buku Fumio, sudah baca sampai habis, mbaaa π Salah satu yang menemani saya berproses untuk jadi lebih minimalis, hihihihi ~ dan suka sama tulisan-tulisan Fumio, karena secara logika, makesense ke saya dan saya bisa relate π
ReplyDeleteDulu saya pun tipe yang gatal lihat ruang kosong, tapi sekarang justru lebih suka. Semakin kosong, semakin nyaman karena nggak perlu repot dibersihkan dan mengurangi tumpukan debu juga π Hehehehe. Semoga kita bisa semakin minimalis ya, mba Kartika π
Happy new year dan selamat liburan π₯³π
Nah iya,, bener banget mba, saran2 dari dunia relate dengan diriku yg dulu hahaha jadi optimis kan bisa lah selangkah lebih minimalis tahun depan π€ π€
DeleteWah masih banyak ya bukunya Fumio? Jadi pengen cari buku yg lain deh... sempat ngintip webnya juga huaaaa senang bacanyaa π€©π€©π€©
Selamat liburan juga buat mba Eno dan keluarga yaa, sehat selalu dan sampai jumpa tahun depan π€π€
Membaca artikel mba tentang buku ini, tentang sang minimalis aku jadi inget tulisan di blog ku tentang about me.
ReplyDeleteBelum thu ada istilah minimalist. Dan blm brani jg memberi klaim diri sbg minimalist.
Hnya saja bbrapa karakter atau kebiasaan sepertinya saya sendri jg ada kecenderungan kesana. Ahh salam kenal aja.
So far saya suka artikelnya. Merasa ada yg menuliskan sedikit ttg diri saya hahah
Halo mbak Ana, salam kenal juga ya π Wah aku langsung kepoin about me nya dong hahaha
DeleteIyaaa samaaa, aku juga belum berani ngaku2 minimalist karna masih jauh banget. Tapi yang penting kan kita udah berusaha ya menuju kesana hehehe. Ehem bagian yang mana nih yg menceritakan dirinya mbak Ana, diriku jadi kepo ππ
Aku udah baca Minimalis versi Fumio, dan ini jadi bacaan tentang hidup minimalis favoritku.
ReplyDeleteSekarang aku udah cukup tega nge-buang barang yang gak ada manfaat dan menuhin ruangan.
Salam kenal mbak Kartika π
Akkkk iyaaa kayaknya buku ini juga jadi favoritku deh ππ
DeleteTos lah, aku juga udah lumayan canggih ngurang2in barang, tinggal dorongan aja yg masih harus ditekan. Karena somehow, aku suka banget lho kegiatan berbelanja itu! π
Salam kenal juga mbak Yani! ππ
Apakah saya termasuk minimalis ya? Soalnya saya sering gak peduli tren pakaian, pakai aja yang ada, gak peduli ruang yang itu isi apa kosong, dan emang agak mikir-mikir fungsinya segimana penting sih kalau beli suatu barang.
ReplyDeleteSaya yang baca beberapa pengalaman mbak, malah kerasa aneh aja gitu. Hehe.
Kalau cuek soal fashion mungkin bukan karena minimalist ya mas, tapi karena memang nggak minat saja di bidang fashion hehehe. Gaya hidup minimalis lebih ke kesadaran bahwa ternyata aku nggak butuh banyak hal atau barang hanya untuk bahagia.
DeletePengalamanku aneh mungkin ya hehehe. Aku juga merasa aneh sih, kok aku dulu seperti itu ya, hahaha. Sayang banget waktu dan uangnya buat hal-hal yang kupikir bisa membuat aku lebih bahagia. Sekarang untungnya sudah menemukan hal lain yang bisa buat aku lebih hepi, yaitu memiliki barang-barang yang benar-benar kubutuhkan. Lebih ringan dan praktis saat melangkah :)
Wadaw.. tertemplak de bacanya.. terutama bagian mumpung sale.. ��hahaha padahal ga urgent banget.. mumpung masih januari yak bs mulai belajar menerapkan gaya hidup minimalis.. sebelum beli apa-apa bertanya, apakah aq bener bener butuh barang ini..
ReplyDeleteThanks for the great article...
Good job
You are so welcome :))
DeleteSepakat ya, nampar banget emang kalau soal dediskonan. Aku pun masih mencoba bertahan dalam godaan flash sale. Tapi sekarang lumayan teralihkan sih, sejak nabung saham. Mending buat beli saham impian kali yaaa :D
Kak Tikaaa, buku ini akan segera aku baca di awal tahun ini π. Biasanya di awal tahun, aku mengumpulkan ilmu-ilmu baru untuk amunisi perjalanan di bulan-bulan berikutnya hahahaha dan buku ini salah satunya. Aku udah sering banget dengar dan lihat buku ini direkomendasikan oleh banyak orang, jadi aku nggak sabar untuk segera membaca buku ini π
ReplyDeleteKak Tika, selamat tahun baruuu π₯³
Hahaha iyaaa sudah banyak sekali yang mereviu buku ini, makanya aku juga bingung mau membahas dari segi mananya ya? :P
DeleteWell, welcome to the club, pembaca Fumio Sasaki :)
Ditunggu deh reviewnya Lia, biasanya ada aja yang menarik yang dibahas sama Lia hehehe
Selamat tahun baru juga, semangat buat Lia, dan jaga kesehatan yaaa ;)
Belum baca kak, tapi aku masih sangat jauh dari minimalis dan harus beneran belajar deh huhuhuhu
ReplyDeleteSekarang si udah mulai belajar untuk nggak beli barang yang nggak penting dan memanfaatkan apa yang ada di rumah.
hihihi sama kok, masih jauh perjalanan, tapi yang penting sudah memulai :))
DeleteHalo Mba Tika π
ReplyDeleteAku jg baca ini di ipusnas dg drama ga beres trus hrs antri trus ga beres, gitu terus π ππ Baru beres jd nya lamaa..
Ini salah satu favorit yg berhasil aku beresin thn kmren. Smpet aku tulis jd di blog. Sbnrny buku ini mnrt aku ga hanya blajar serba minimalis, tp lbh mengajarkan gaya hidup agar kita ga fokus ke hal2 yg ga penting2 apalagi sebatas omongan orang2..
Iyaaa bener banget, nggak cuma cara teknisnya aja ya, tapi juga ke filosofi sesungguhnya tentang minimalis. Tentang minimalis yang nggak ada standarnya, sesuaikan aja dengan kebutuhan kita. Bagian itu ngena banget sih di aku, jadi lebih melegakan dan optimis aku bisa sampai di garis finish :D
Deletemakasih reviewnya
ReplyDeletesama-sama Bu, terima kasih sudah membaca :)
Delete