[REVIEW BUKU] Wisdom of Gontor by Tasirun Sulaiman
ceritagontor.wordpress.com |
Ini buku kedua yang aku review di tahun ini. Melenceng jauh sekali dari target, yang seharusnya One Week One Book, jadinya One Month One Book, hiks (sebagai catatan tambahan, proyek pribadi ini aku luncurkan di bulan Februari 2020, cerita selengkapnya ada di Review Buku My Sister’s Keeper).
Oke, stop sedihnya. Yang penting, buku kedua sudah selesai
dibaca dan bisa direview di blog.
Buku ini aku pinjam di aplikasi Perpusnas, kupilih di karena sejak dulu aku selalu tertarik dengan
kehidupan pesantren. Persisnya sejak membaca Negeri 5 Menara-nya Ahmad Fuadi,
aku suka sekali membaca serunya kehidupan di pesantren. Aku membayangkan
serunya juga seperti di Hogwarts. Ratusan anak-anak hidup bersama, saling
kompak, tolong menolong, musuhan juga, wah seru pokoke. Karena aku membaca
serial HarPot dulu jadilah aku referensinya ke Hogwarts, mohon dimengerti :D
Judul: Wisdom of Gontor
Penulis: Tasirun Sulaiman, 2009
iSBN: 978-979-8394-83-6
Penerbit: PT Mizan Pustaka
Penulis: Tasirun Sulaiman, 2009
iSBN: 978-979-8394-83-6
Penerbit: PT Mizan Pustaka
RESENSI
Tenyata buku ini tidak bercerita soal kehidupan di pesantren. Lebih dari itu, buku ini berkisah tentang wisdom atau kearifan yang diajarkan di Gontor, dikisahkan oleh alumni Gontor.
Tenyata buku ini tidak bercerita soal kehidupan di pesantren. Lebih dari itu, buku ini berkisah tentang wisdom atau kearifan yang diajarkan di Gontor, dikisahkan oleh alumni Gontor.
Baik dari sikap dan keteladanan K.H. Ahmad Sahal maupun K.H.
Imam Zarkasyi atau ajaran yang menjadi visi Gontor yang menyerupai semangat liberte, egalite, dan fraternite yang meledakkan revolusi
Perancis, tapi dalam kemasan semangat nilai baru dengan ditambahkan keikhlasan,
kesederhanaan, dan persaudaraan Islam (hal. 21).
Sebagai orang awam dan berasal dari luar lingkungan Gontor,
membaca buku ini membuatku bisa menyelami ajaran-ajaran Gontor, dan semakin
percaya bahwa dari kesederhanaan dan teladan para gurulah, ilmu itu bisa
diterima oleh murid-murid, untuk kemudian dibawa hingga ke masa dewasa.
Tidak semua wisdom
atau kearifan Gontor yang akan kuceritakan di sini. Aku akan menceritakan beberapa
yang menurutku sangat relate dengan kehidupan
kita sebagai pribadi yang ingin terus memperbaiki diri.
Jangan pernah bosan menjadi
orang baik
Pernyataan tersebut menyerupai gulungan gelombang lautan
yang menghantam karang-karang di tengah lautan. Tak henti-hentinya terus
didengungkan. Tak jemu-jemunya digemakan. Barangkali, itulah tugas dan misi
yang paling utama dalam kerja dunia pendidikan: mengantarkan siswa-siswa
menjadi orang yang baik (hal. 36).
Bahkan dalam jejaring alumni di milis Gontorian, K.H. Hasan
Abdullah Sahal masih mengingatkan penggalan itu:
“Telah kausadari bahwa orang baik yang bertempat di
pembuangan sampah sekalipun akan berjasa dan mulia karena ia telah
menyingkirkan sampah yang mengganggu masyarakat. Namun sebaliknya, orang yang
jahat sekalipun bertakhta di tempat terhormat, ia adalah perusak dan pengacau
masyarakat karena ia sebetulnya adalah sampah.” (hal. 35)
Menjadi orang baik itu yang bagaimana? Bukankah manusia adalah makhluk yang berbuat salah, Errare humanum est?
Menjadi orang baik itu yang bagaimana? Bukankah manusia adalah makhluk yang berbuat salah, Errare humanum est?
Ketika orang terus berusaha menjadi orang baik, dia akan
terus berusaha melakukan amal kebajikan. Kebajikan adalah semua bentuk kerja
yang bisa memberikan kemanfaatan kepada yang lain, bukan semata kepada dirinya.
Adapun kejahatan dan keburukan adalah kebalikannya (hal. 38).
Karena alasan itulah, orang tidak boleh jemu dan bosan
menjadi orang baik, sebab menjadi orang baik tetaplah akan beruntung. Mengapa
mesti beruntung? Karena jiwanya yang paling berharga selalu terselamatkan
selamanya. Jiwa adalah kekayaan yang paling mahal dari makhluk bernama manusia
(hal. 42).
Gontor untuk semua
golongan
Mengapa buku fiqih Bidayatul
Mujtahid karya Ibn Rusyd, seorang ilmuwan Muslim menonjol di Spanyol pada
Abad Pertengahan, diajarkan di Gontor?
Pemikiran ibn Rusyd yang di Barat dikenal dengan nama
Averros oleh para sejarahwan diakui banyak memengaruhi kebangkitan ilmiah di
Eropa. Zaman itu sering dikenal dengan sebutan nama Aufklarung atau Enlightment
Epoch.
K.H. imam Zarkasyi tentulah memiliki alasan yang jelas dan
target yang nyata yang sudah didesain. Melihat buku yang didalamnya dirangkum
berbagai pemikiran dari berbagai mazhab fikih besar, sepintas lalu orang akan
berkomentar, mau dibawa ke mana siswa-siswa Gontor? Tidak bermazhab?
Jawabnya pasti sederhana, “Dibawa untuk bisa memahami
alasan-alasan yang digunakan maisng-masing mazhab dalam ijtihad membuat
keputusan hukum dan tujuannya jelas, menghilangkan segala jenis fanatisme buta
(hal. 46).
Gontor dan kemordenan
Kemodernan pada hakikatnya adalah daya dan energi yang
memampukan sesuatu terus ikut bergerak menyerasikan diri dengan gerak zaman.
Kapan kemordenan Gontor dimulai?
Kemordenan Gontor jauh mengada sejak K.H. Ahmad Sahal dan
K.H. Imam Zarkasyi merintis Gontor. Gontor ingin menyiapkan para lulusan yang
siap hidup dan menaklukkan zamannya.
Pada masa lalu, setiap ada kunjungan duta atau pejabat,
gurur-guru tetap mengajar di kelas. Mereka dipersilakan melihat kelas-kelas
itu; melihat bagaimana sisa dan guru belajar dan mengajar. Tidak ada rasa cemas
dan khawatir, jangan-jangan ada yang salah.
Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Gontor membuka diri
untuk dilihat dan kalau harus mendapat kritikan itu merupakan sebuah masukan
untuk kemajuan. Sikap hidup percaya diri dan terbuka menjadi watak Islam yang
sesungguhnya seperti yang dicontohkan pada masa-masa gemilang Islam (hal. 55).
Kemordenan Islam adalah semangat untuk memimpin zaman dan
memberikan nilai baru; memberikan nilai Islami. Sikap-sikap berani membuka diri
itulah yang dimaksudkan dengan sikap kosmopolit Islam. Islam yang modern.
K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi dengan kepercayaan
diri yang tinggi selalu mengatakan:
“Aku tidak peduli dengan celaan orang-orang yang hanya bisa
mencela.”
Zaman-zaman telah berubah. Musim-musim berganti. Itulah
kehidupan. Juga kemodernan itu sendiri. Tapi keajekan dalam menyikapi setiap
perubahan itulah kemordenan yang sesungguhnya. (hal. 58)
Kebebasan
Dalam pandangan agama Islam, seperti yang diajarkan dalam
fiqih, juga dikatakan bahwa yang membuat seseorang itu diikat oleh tanggung
jawab agama adalah karena dia sudah dewasa. Dewasa biasanya ditandai dengan
kemampuan membedakan, mumayyiz. Setelah bisa membedakan benar dan
salah, juga tahu apa akibatnya, barulah dia memiliki kebebasan. Kebebasan untuk
menentukan pilihannya dan harus berani menanggung akibatnya. Karena itu,
kemudian diapun akan dikenai tanggung jawab karena pilihannya tidak dipaksa
oleh orang lain atau pihak lain. Artinya, dia telah berpikir bebas sebelum menjatuhkan
pilihannya. Orang gila atau anak-anak tidak dikenai tanggung jawab karena tidak
bisa berpikir dalam pengertian mempertimbangkan benar dan salah serta apa
akibatnya (hal. 86).
Di Gontor sering sekali dikutip kata-kata Dr. Mahmud Saltut,
yang mengatakan bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.
Seseorang bebas menggemakan musik rock kesayangannya. Tapi orang lain juga
berhak mendapat ketenangan dan tidak boleh terganggu. Orang lain juga harus
terjaga kebebasannya. Kalau dia terus memaksakan kehendaknya memutar musik yang
mengganggu ketenangan orang lain, orang yang merasa diganggu dan dirugikan bisa
melaporkan adanya gangguan itu.
Dan kalau itu benar, kebebasan yang dituntut seperti
mendengarkan musik cadas dengan dentuman yang menggelegar, dia harus punya
ruang kedap suara! Silakan nikmati kebebasannya!
Kebebasan berpikir menjadi moto Gontor, tapi itu juga tidak
identik dengan berpikir bebas –vrij
denker atau free-thinker.
Berpikir bebas tetap ada koridor atau frame-work-nya,
yakni Al-Quran dan Sunnah. Berpikiran bahwa Tuhan telah mati dan kita bebas,
kehidupan sesudah mati tidak ada, manusia berasal dari atom Tuhan, karena itu
manusia abadi adalah berpikir bebas yang kebablasan.
Kebebasan-kebebasan seperti itu adalah kebebasan kanak-kanak
yang lebih menyerupai hasrat. Kebebasan sesungguhnya adalah kematangan berpikir
dan tanggung jawab. Karena itu kebebasan kemudian dipersandingkan dengan moto ukhuwah
islamiyah dan juga berpengetahuan luas agar kebebasan tetap dalam kerangka yang
seharusnya. (hal. 88)
Melek walang
Benarkah seekor walang,
atau belalang, tidak bisa melihat meski matanya terbuka?
Belalang tentu bisa melihat dengan lensa matanya yang besar,
tapi ia tidak bisa membedakan banyak hal, kecuali hitam dan putih, terang dan
gelap. Tapi manusia bukanlah seekor belalang. Manusia memiliki alat-alat
indrawi yang lebih sempurna dan juga disempurnakan dengan pikiran dan agama.
Lewat alat-alat indrawinya itulah kemudian pikirannya mendapat data,
mengolahnya, dan memberikan keputusan.
Ketika berada di Gontor, siswa dinasihati oleh K.H. Imam
Zarkasyi agar membuka semua alat indrawi yang dimiliki sepenuhnya.
Channel-channel itu jangan sampai tersumbat atau tertutup hingga tidak bisa
menyerap semua apa yang ada di Gontor.
“Jangan melek walang
di Gontor ini.” (hal. 136)
Untuk menjelaskan melek
walang, mata melihat, tapi tidak dapat memahami apa maksudnya, K.H. Imam
Zarkasyi suka bercerita tentang “Tujuh Orang Buta dan Seekor Gajah.” (Seven
Blinds and Elephant) yang berasal dari filsafat Cina kuno.
Dia bercerita bahwa ada tujuh orang buta yang ingin
mengetahui binatang yang bernama Gajah. Mereka kemudian ditempatkan di posisi
yang berbeda-beda dan dipersilakan untuk mengindra dan mencari informasi
tentang gajah. Setelah dirasakan cukup, mereka dibawa kembali ke suatu tempat
dan ditanyai pendapatnya tentang gajah. Ternyata ketujuh orang itu nyaris
bertengkar, masing-masing yakin dengan apa yang diketahuinya. Masing-masing
fanatik dengan pendapatnya! Gajah itu, seperti kipas, seperti beduk, seperti tiang,
seperti tombak, seperti cemeti.
Mereka tentu tidak salah dengan berpegang kepada pendapatnya
itu. Mereka memang mengetahui sendiri seekor gajah itu seperti itu! Tapi, yang
salah adalah sikap fanatik mereka yang mau benar dan menang sendiri. Padahal,
ada pendapat yang lebih benar tentang gajah itu! (hal. 140)
Orang dengan pandangan pemikiran yang lebih terbuka akan mau
mengkaji dan menimbang, lalu menerima atau menolak. Tapi orang dengan pandangan
sempit, picik, dan tertutup pastilah harus menolak setiap pandangan yang
berbeda dengan dirinya, kalau Gajah tidak seperti kipas berarti salah!
Siswa-siswa dan alumni Gontor tidak boleh menjadi seperti
tujuh orang buta itu benar-benar menjadi garis tebal yang selalu ditekankan
K.H. Imam Zarkasyi –menjadi fanatik buta!
Fanatik buta tidak saja dalam pandangan agama, sekte,
golongan, partai, organisasinya. Yang pasti, fanatik buta itu sesuatu yang
membahayakan terhadap orang lain juga terhadap dirinya sendiri.
Karena alasan itulah K.H. Imam Zarkasyi tidak bosan-bosan
menyadarkan dan menyadarkan kembali siswa-siswa Gontor agar selalu membuka diri
–membuka mata, membuka pikiran, dan membuka hatinya. (hal. 143)
Hidup
Apa itu hidup?
Hidup yang sejengkal kadang digunakan untuk meraih
popularitas, ingin mendapat pujian, tepuk tangan, dan kilatan lampu-lampu. Tapi
hidup itu sendiri adalah sebuah misteri, sesuatu yang di dalamnya penuh dengan
teka teki yang harus dipecahkan (hal. 145).
Bagi Gontor, hidup adalah amanat yang harus dimenangkan.
Dimenangkan dengan cara tetap menjaga tanggung jawab hidup dan tugas hidup.
Hidup adalah seperti sepotong ungkapan tadi, perjuangan dan menjaga akidah.
Jihad tidak diartikan dengan meledakkan bom terhadap orang
yang berbeda agama. Tidak melakukan penyerangan. Tidak melakukan tindakan yang
menghalang-halangi orang yang berbeda keyakinan. Dan tidak mau menang sendiri
karena merasa dirinya paling benar (hal. 146).
Jihad juga berarti melakukan kerja dan amal yang dapat
memberikan keadilan dan kemaslahatan. Memberikan daya guna dan perbaikan.
Apakah dengan meledakkan bom-bom yang meregangkan banyak nyawa orang tak
berdosa, ketidakadilan dan kemiskinan bisa dihilangkan? tanya K.H. Hasan Abdullah
Sahal di milis Gontorian.
Ketidakadilan haruslah diperangi, di mana pun dan kapan pun,
karena itu adalah musuh Islam yang sesungguhnya. Tapi, di mana letak
ketidakadilan itu?
Kita tidak sadar bahwa ketidakadilan sering bersemayam di
dalam dada kita, di pikiran kita, di balik kopiah dan jubah kita. Lalu dengan
kepentingan dirilah kita menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat kita.
Kalau faktanya seperti itu ketidakadilan sudah pasti tidak bisa dihilangkan
dengan ledakan bom. “Ujung-ujungnya rakyat juga yang menjadi semakin susah
hidup.” kata K.H. Hasan Abdullah Sahal. Kalau menjadikan rakyat yang sudah
susah menjadi lebih susah, apa itu jihad? (hal. 148).
Resep
“Kalau tidak kerasan di Gontor, cobalah seminggu dulu. Kalau
seminggu tidak kerasan juga, cobalah sebulan. Sebulan tidak kerasan juga,
cobalah setahun. Setahun tidak kerasan juga, cobalah dua tahun... enam tahun
tidak kerasan juga, boleh pulang.” – K.H. Imam Zarkasyi (hal. 167).
Orang pandai
Siapakah gerangan orang pandai?
Predikat orang pandai biasanya dinisbahkan kepada
orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual. Orang yang menguasai
ilmu-ilmu eksakta dengan baik. Orang yang nilai rapornya 8, 9, 8, 9.
Orang pandai dalam kacamata K.H. Ahmad Sahal adalah mirip
dengan orang bijak itu sendiri. Bisa membawa diri dan menempatkan diri karena
memiliki mental tidak minder dan tidak juga sombong karena kecerdasan yang
dimiliki. Orang bijak juga bisa mengendalikan emosinya dengan baik dan dengan
tepat (hal. 179).
“Dalam masyarakat, di mana anak-anakku berada, hendaklah
pandai-pandai meletakkan, menyelaraskan, menyesuaikan serta membawa diri. Dengan
demikian, maka akan berhasillah usahamu dalam menunaikan kewajibanmu. - K.H.
Ahmad Sahal (hal. 173).
Hidup di Gontor itu butuh kesabaran.
Setiap saat bel saksi sejarah berdentang. Setiap dentangan
adalah pergantian. Suka atau tidak saat sedang melakukan aktivitas apa pun,
ketika bel berdentang, kita harus mengikuti arah bel itu.
Bel berdentang, maka itu perubahan.
Maka di Gontor yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Setiap
kali terjadi perubahan. Lalu datang perubahan. Dan perubahan lagi. kemudian
perubahan lagi. tidak ada yang tetap dan berhenti. Terus bergerak.
Hidup di Gontor terus bergerak cepat ke depan, dan kalau
berhenti akan terjadi masalah?
Itu benar!
Waktu makan, tidak mau makan? Maka dapur pun akan segera
segera tutup. Waktu mandi tidak mau mandi, maka tidak akan mendapat giliran. Waktu
ke masjid tidak bergerak ke masjid, makan akan disetrap, digelandang oleh
bagian keamanan. Bahkan terlambat ke masjid pada sore hari, bisa-bisa
diberhentikan dan berdiri di depan Masjid Jami yang agung itu.
Jadi, jika tidak akan membuat masalah bagi dirinya, tentu
juga akan menimbulkan masalah bagi yang lain; menjadi urusan orang lain; bagian
keamanan, bagian pengajaran, dan lainnya.
Kalau tidak dilatih belajar sabar, tentu akan berat sekali. Bisa-bisa
baru tinggal seminggu di Gontor, kemudian kabur dan angkat koper (hal. 184).
Tapi kesabaran yang menjadi sasaran atau obyek yang akan
dicapai sesungguhnya adalah pembentukan mental. Menanamkan nilai kesabaran di
Gontor itu adalah dicelupkan dalam serangkaian aktivitas hidup yang sudah
didesain oleh K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi, hidup yang terus-menerus
berubah. Hidup yang terus-menerus bergerak.
Jika mengikuti pola hidup yang sudah didesain itu mengalami
masalah, dia akan melakukan remedi dengan sendiri secara pelan-pelan. Membuat toksin
kesabaran sedikit demi sedikit memenuhi bagian tubuhnya. Dalam hitungan bulan
dan tahun, mental sabar itu akan terbentuk.
Kesabaran adalah senjata dan kendaraan yang biasa digunakan
untuk memenangi kehidupan yang bergerak lebih pesat lagi di luar Gontor. Ingin cepat
kaya, ingin naik pangkat. Ingin meraih jabatan, ingin mendapat popularitas, dan
seterusnya, jika tidak menggunakan kesabaran, orang harus memilih senjata dan
kendaraan lain.
Para filsuf dan para orang suci mengatakan sabar dan
bersabarlah, itulah pilihan orang biijak, tidak ada yang lain. Orang menjadi
bijak karena dia bisa bersabar menerima setiap kemalangan yang menimpa dirinya.
Dia selalu optimis ada jalan keluar dari setiap permasalahan. Dan dia tahu
Tuhan tidak pernah menimpakan beban melebihi kemampuan dan takarannya (hal.
187).
Buat aku ini bukunya berat mba. Tapi ini buku sangat apik dibaca di waktu luang. Banyak mengajarkan kita makna dan arti berkehidupan.
ReplyDeleteIya betul Mbak. aku saja butuh hampir 1 minggu untuk menyelesaikannya. Reviewnya pun cukup panjang ya hehehe karena banyak yang bagus, jadi ingin menyimpannya di blog
Delete“Telah kausadari bahwa orang baik yang bertempat di pembuangan sampah sekalipun akan berjasa dan mulia karena ia telah menyingkirkan sampah yang mengganggu masyarakat. Namun sebaliknya, orang yang jahat sekalipun bertakhta di tempat terhormat, ia adalah perusak dan pengacau masyarakat karena ia sebetulnya adalah sampah.”
ReplyDeleteMasyaAllah.... buku ini baguuuusss banget
Ku pingin baca nih Mbaaa
Bagus banget Mbak! Buku ini sudah cukup lama Mbak, aku pinjemnya di Perpusnas :)
DeleteWaw buku yang bagus mba. Ternyata ini buku lama ya. Walau lama, tapi ilmunya dalem dan selalu bisa diterapkan di semua zaman. Aku suka dengan pesannya bahwa kita ga boleh bosan menjadi orang baik. Karena orang baiknya jiwanya akan selalu selamat. Suka aku
ReplyDeleteBanyak hal yang menghangatkan hati saat membaca buku ini. Makanya kutulis semua yang kusuka dari buku ini, buat kenangan :)
DeleteSepakat mbak dengan kata-kata 'hidup adalah amanat yang harus dimenangkan'. benar banget mbak terutama amanat hidup kita sebagai makhluknya Allah.
ReplyDeletebener ya Mbak Dyah, kita gak boleh mudah menyerah dan cuma berpangku tangan. Hidup ini harus diperjuangkan, sampai gak ada lagi yang bisa dilakukan.
DeleteIya mbak, namanya juga hidup, harus tetap berjuang. Kapan istirahatnya? kelak di JannahNya
DeleteAku suka deh part, jangan pernah bosan jadi orang baik. Walopun pada kenyataannya kadang jadi orang baik itu suka diakal-akalin dan diperlakukan semena-mena sih mba. Nice book, banyak kearifan yang bisa diambil daari Gontor ya.
ReplyDeleteMeski kadang menjadi orang baik lelah dimanfaatkan, tapi hangat hatiku membaca, "Karena jiwanya yang paling berharga selalu terselamatkan selamanya."
DeleteBanyak makna hidup yang dapat diambil dari buku ini yang bisa selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ya, bukan ditujukan hanya utk lingkungan pesantren semata.
ReplyDeleteiya mbak, makanya ingin kusimpan di blog ini biar gak hilang dalam ingatan
DeleteBagus sekali bukunya, dulu beli di mana?
ReplyDeletehidup adalah amanat yang harus dimenangkan. Dimenangkan dengan cara tetap menjaga tanggung jawab hidup dan tugas hidup. Hidup adalah seperti sepotong ungkapan tadi, perjuangan dan menjaga akidah.
Top banget
aku pinjam di perpusnas Ambu. Aku pun tidak menyesal meminjam dan membacanya :)
DeleteSepertinya bukunya termasuk berat ya, Mbak? Tapi tergantung pribadi yang membaca juga sih ya. Buku-buku seperti ini memang sarat makna tentang kehidupan ya, aku biasanya pinjam buku punya bapak mertua kalau mau baca yang sejenis ini. Kalau punyaku kebanyakan novel sama parenting. Hehe.
ReplyDeleteini dapat pinjam di aplikasi perpusnas Mbak. Syukak sekali membaca buku ini
DeleteSaya jadi ingat sudah lama banget beli buku ini, pas ada pameran buku. Belum selesai membacanya, karena menurut saya agak berat. Alhamdulillah nemu tulisan ini, bisa baca rangkumannya
ReplyDeleteWah beruntung sekali Mbak punya buku fisiknya. Aku lagi car ini buat tambahin koleksi buku bagus di rumah
Deletepondok gontor terkenal sekali ya. yg sekolah di sini gak hanya dr Jawa. memang ketat tp benar bs didik jd insan yg baik, sesuai ajaran agama
ReplyDeleteAku jadi punya cita-cita kalau punya anak kelak, akan aku masukkan ke pesantren hehehe
DeleteSalah satu keponakan saya sekolah di gontor. Tapi baru kali ini saya membaca tentang wisdom yang berlaku di sana. Yang saya rasakan sih, apa yang saya baca ini nggak jauh beda dengan output keponakan yang alumni gontor. Modern, taat pada Allah dan Rasulnya, pintar, dan punya jaringan luas. Tabarakallah
ReplyDeleteBerarti benar ya Mbak penuturan di buku ini. Tidak dijelaskan secara implisit sih, tapi aku rasa penulisnya salah satu alumni Gontor
DeleteBukunya sangat manerik dan penuh hikmah ya mbak...
ReplyDeletePaling ngena, "jgn bosan jadi orang baik"
Mencolek sekali ya Mbak, aku juga merasa kata-kata ini buat aku banget
DeleteKayanya buku ini cocok untuk bacaan anak remaja agar mereka selalu mawas diri apalagi di zaman serba digital seperti ini
ReplyDeleteKayaknya cocok buat yang dewasa juga sih Mbak, kadang kita juga harus diingatkan kembali hal-hal yang kita sudah ketahui :)
DeleteMasya Allah, aku sampai baca pelan pelan, meresapi kata demi kata, ada beberapa paham yang aku ada di AHA moment, dan terbengong ketika menyadari bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.
ReplyDeleteOMG, buku ini LAYAK PUNYA kalau begitu mbak, fixed!
Samaaa Mbak! Perasaanku ketika membaca buku ini pun begitu. Sekarang lagi mencari buku fisiknya ini, ingin menambah koleksi di rumah
Deletemaaksih reviewnya, buku lama ya, aku belum baac , baru tahu bukunya ini
ReplyDeleteIya cukup lama Mbak, tapi dramanya bagus banget, makanya sudah difilmkan
DeleteMasya Allah buku yang bagus sekali, reviewnya pun apik membahas poin-poin di buku. Thanks for share mbak
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca Mbak. Iya saya tulis poin2nya karena gak kepingin kehilangan juga
DeleteMasya allah buku bagus nih dan wajib dibaca , penasaran jadinyaingin baca juga.
ReplyDeleteIya bagus banget Mbak, semoga Mbak suka juga ya setelah baca π
DeleteBuku ini hadiah terbaik bagi para lulusan Gontor dan mereka yang tak bisa belajar di sana. DAn seharusnya jadi buku panduan wajib di sana. Bagus sekali, isinya
ReplyDeleteBetul Mbak. Aku jadi makin penasaran sama dalamnya pesantren. Mungkin nanti anakku aku masukkan ke pesantren π
DeleteBanyak pemahaman makna kehidupan ya..dan benar membaca buku ini tdk bisa sambil lalu karena nanti ga dapet maknanya..bagus dan dalam maknanya buku ini hrs pnya saya mksh ya kak infonya
ReplyDeleteWow keren juga ya, judulnya ada Gontornya, semula berpikir akan mengulas tentang Gontor, eh ternyata mengulas hal-hal yang diajarkan oleh Gontor.
ReplyDeleteKeren nih, pesantren idaman juga tuh Gontor :)
Saya sejak kecil, sejak masih tinggal di Makassar sudah tau soal pesantren Gontor ini, Mbak Kartika. Kebetulan ada tetangga mondok di sana. Dan Kalau tidak salah, saya lewat di depannya pas perjalanan saya dengan bus malam dari Solo ke Surabaya.
ReplyDeleteDan sangat menarik mengetahui banyak kisah teladan di dalamnya ya, Mak Kartika. termasuk, Jangan lelah menjadi Orang Baik. karena memang terkadang, tidak semua orang menganggap niat baik kita.
Aku salut sama alumnus-alumnus Gontor. Satu kata pertama buat mereka adalah PINTAR. Gak cuma pintar agama doang, tapi juga pintar dalam kehidupan bernegara. Banyak banget kan alumni Gontor yang duduk di pemerintahan. Bukunya beratttt ya mba. Tapi salut ini sama mbanya bisa namatin bacaan meski satu bulan. Yang penting kan dinikmati.
ReplyDeleteMelihat review buku ini, jadi tertarik untuk membacanya. Banyak hal filosofi dan panutan di dalamnya. Tentang hidup pastinya. Awalnya pun, sama, saya kira ini tentang kehidupan pesantren kayak 'Negeri 5 Menara', tetnyata bukan.
ReplyDeleteAlhamdulillah semakin yakin saya Kak Tika... menyekolahkan anak di pesantren dg 100% kurikulum Gontor. Jd yg kakak ceritakan di atas mirip2 dg taushiyah asatiz di pondok anak saya. Keikhlasan, kesederhanaan, dan persaudaraan Islam ya semangatnya. Noted. Tfs Sis
ReplyDeleteKagum pada konsep Gontor sejak baca Negeri 5 Menara. Meski fiksi saya jadi punya bayangan bagaimana kehidupan di pesantren.Satu waktu pernah juga lewat komples pondoknya saat kami mudik ke Madiun dan hendak ke Kediri, singgah dulu ke sini.
ReplyDeleteBuku yang sangat berisi, penuh pesan moral ini...
Saya suka kalimat "jangan bosan menjadi orang baik".
ReplyDeleteSaya juga suka lima menara, harry potter.
Kalo ketemu, cocok ni kita ngobrolnya mba heehhehe
Saya sempat berencana memasukkannya anak saya ke gontor. Karena banyak nilai positif yg diajarkan di pesantren itu. Dari review ini saya jadi sedikit tau metode pengajaran di gontor.
ReplyDeleteMeskipun agak berat yang dibahas buku ini, tapi kok aku suka ya isinya berasa motivasi untuk hidup lebih disiplin dan lebih baik. Soalnya saya tuh aslinya pengen mondok tapi enggak kesampaian, hehe
ReplyDeleteBukunya memang pas banget nih, untuk saya yang keluaran pesantren, dan memang ada banyak nilai positif yang bisa diambil sebanyak mungkin
ReplyDelete